Tarik-ulur penentun konfigurasi koalisi partai politik (parpol) menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, semakin menarik untuk disimak. Bangunan narasi koalisi diperlihatkan parpol dengan berbagai macam bentuk. Terdapat partai yang menginginkan koalisi cepat dibentuk, ada pula yang menginginkan sebaliknya, lebih bijak jika dibentuk mendekati Pilpres 2024.
Adi Prayitno, pengamat politik UIN Jakarta, mengatakan, idealnya koalisi partai dan penentuan calon presiden (capres) dilakukan lebih awal. Hal itu dimaksudkan agar partai dan kandidat punya waktu sosialisasi, konsolidasi, dan penetrasi lebih matang.
Namun menurutnya hal itu sulit dilakukan, koalisi pasti alot karena mencari yang terbaik. Hal ini wajar, disebabkan setiap parpol punya perhitungannya masing-masing. Semacam ironi, di satu sisi koalisi penting dipercepat untuk memberikan waktu sosialisasi dan konsolidasi yang lebih banyak, tapi di sisi lain, partai juga perlu memikirkan keuntungan masing-masing jika bergabung dalam sebuah koalisi.
Karena Pemilu 2024 nanti adalah silang kepentingan antara usaha memenangkan pilpres dan mengamankan perolehan suara parpol. Berangkat dari dilema parpol ini, alasan utama tentunya disebabkan oleh aturan main pencalonan presiden dalam pilpres.
Hal ini merujuk pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di pasal tersebut disebutkan, pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu sebelumnya.
Bagi parpol mapan, ambang batas parlemen bukan isu yang menjadi hambatan. Mereka paham bahwa kekuatan kursinya di parlemen cukup untuk mengejar cita-cita politiknya, yaitu memenangkan pilpres dan meraup suara besar di parlemen. Tapi itu mungkin hanya berlaku untuk PDIP, Golkar, atau Gerindra.
Sedangkan partai menengan ke bawah, narasi koalisi menjadi komoditas politik penting. Tentunya karena parpol middle class membutuhkan suara lebih untuk mencalonkan kandidat dan ikut terlibat dalam mempertahankan eksistensi di parlemen.
Terdapat pula sebuah argumentasi lain dalam konteks koalisi, yaitu inisiasi koalisi seharusnya sejalan dengan bentuk sistem pemerintahan kita, yaitu presidensial multipartai. Lantas seperti apa konfigurasi koalisi yang akan diterapkan parpol dalam sistem politik kita saat ini?
Efek Domino Presidensial Multipartai
Kenapa koalisi harus dilakukan, hal ini disebabkan oleh sistem yang saat ini dianut, yaitu sistem presidensial multipartai. Sejumlah ahli politik mengatakan bahwa sistem presidensial multipartai cenderung akan membuat partai-partai bergabung dalam sebuah koalisi.
Juan Linz dan Arturo Velenzuela dalam bukunya The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America, mengatakan sistem presidensial yang dijalankan berdasarkan konstruksi sistem multipartai cenderung akan membuat partai berkonflik satu dengan lainnya, sehingga terjadi suatu titik di mana partai melahirkan kompromi berupa koalisi untuk meredam konflik di antara partai-partai tersebut.
Tidak seperti sistem parlementer, salah satu kekurangan sistem presidensial adalah tidak adanya mekanisme yang dapat menjamin penguasaan kursi mayoritas di parlemen. Partai politik pengusung presiden memang sering kali mendapatkan mayoritas kursi parlemen di negara-negara dengan sistem presidensial yang berkombinasi dengan sistem dua partai politik dominan.
Akan tetapi, hal ini amat jarang terjadi di negara-negara dengan sistem presidensial yang berkombinasi dengan sistem multipartai. Polarisasi ideologis dan fragmentasi kekuatan politik yang beredar dalam spektrum yang lebar, menyebabkan presiden dalam sistem presidensial yang berkombinasi dengan sistem multipartai harus memiliki kemampuan membentuk koalisi ideal yang solid, dan juga cukup untuk memenangi mayoritas suara di parlemen.
Arend Lijphart dalam bukunya Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, mengatakan kondisi ini sebagai koalisi kemenangan minimal (minimal winning coalition), yakni koalisi perlu dibentuk sekadar dapat mengendalikan mayoritas relatif sebesar 50 persen ditambah satu di parlemen.
Tentu saja skenario ini mengharuskan kedisiplinan dan kepatuhan partai politik mitra koalisi terhadap komitmen perjuangan bersama, sehingga tidak membelot dan menyeberang ke kubu oposisi dalam isu-isu tertentu.
Kekhawatiran akan adanya pembelotan dan penyeberangan politik yang dilakukan mitra koalisi, tidak boleh mengorbankan tatanan ideal demokrasi yang meniscayakan kekuatan politik pemerintahan. Pada titik ini, membangun koalisi partai politik tidak boleh sekadar dilatari motivasi kemenangan belaka.
Kompromi dibangun sedini mungkin agar tidak mengganggu pemerintahan. Oleh karenanya, untuk menguji soliditas partai, perlu diadakan koalisi dini, sehingga partai yang relatif tidak punya komitmen akan dengan mudah dieliminasi dari koalisi.
Well, dari sini kita melihat bangunan argumentasi yang lebih ideal dalam membangun koalisi, yaitu soliditas. Untuk mencapai soliditas tersebut dibutuhkan waktu, sehingga membentuk koalisi sedini mungkin dapat juga menjadi bagian dari strategi menyeleksi parpol yang tidak mempunyai komitmen.
Lantas, seperti apa harusnya parpol membangun koalisi pada Pemilu 2024?
Belajar dari Pilpres 2019
Jika mengacu jadwal hari pemungutan suara di Pemilu serentak 2019 yang jatuh pada 17 April 2019, deklarasi kedua pasangan calon, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang sama-sama pada 9 Agustus 2018, maka publik sudah mengetahui pasangan capres dan cawapres selama kurang lebih 8 bulan sebelum pemungutan suara.
Dalam periode tersebut, masa kampanye pun panjang, yakni sejak 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Berpijak dari pengalaman Pemilu 2019, praktik yang sama juga akan diterapkan di Pemilu 2024. Dengan regulasi yang sama, bisa diprediksi tahapan pemilihan umum akan berlangsung lebih panjang.
Usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, masa tahapan lebih dari 20 bulan seperti yang disyaratkan dalam undang-undang. Dengan pemilihan umum serentak, bahkan nantinya juga dibarengi dengan pilkada serentak nasional, membangun koalisi partai politik sejak awal boleh jadi menjadi keniscayaan.
Selain itu, kita bisa lihat meski terjadi perubahan peta politik paska kemenangan Jokowi, yaitu masuknya Prabowo dalam kabinet pemerintahan, koalisi yang mengusung Jokowi-Ma’ruf relatif lebih solid sejauh ini.
Yohan Wahyu dalam tulisannya Membangun Koalisi Sejak Awal, mengatakan pemilu serentak diharapkan memperkuat potensi koalisi lebih awal. Meskipun ambang batas pemilihan presiden menjadikan posisi setiap partai tidak setara, respons publik cenderung menyambut positif jika jauh-jauh hari mereka tahu siapa pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan berlaga di 2024 nanti.
Merujuk dari hasil jajak pendapat Kompas, Yohan mengungkap separuh lebih responden, yaitu 51,5 persen menganggap deklarasi calon presiden yang dilakukan lebih awal, setidaknya di tahun 2022 ini bisa jadi lebih menguntungkan bagi pemilih karena sudah mengetahui jauh-jauh hari calon pemimpin di 2024.
Meskipun demikian, sebagian responden lainnya menyatakan sebaliknya. Sebanyak 45,7 persen responden cenderung menyatakan tidak perlu deklarasi dilakukan jauh-jauh hari, lebih baik mendekati saat pemilihan umum atau di detik-detik terakhir seperti yang selama ini disuguhkan para elite partai di hadapan publik.
Terlepas dari pro-kontra di mata publik, wacana membangun koalisi partai politik sejak awal menjadi sinyal positif dari partai politik untuk membangun koalisi yang lebih permanen. Koalisi permanen ini bukan hanya untuk memenangkan kandidat di pilpres, melainkan juga memberi waktu yang lama bagi publik untuk menilai calon pemimpin mereka. (I76)