Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama berbagai pihak mengusulkan penggunaan teknologi rekapitulasi elektronik dalam gelaran pemilu 2024 nanti. Keberadaannya dinilai menjadi solusi sekaligus dapat meminimalisir adanya electoral fraud dan kecurangan dalam pemilu. Benarkah demikian?
Menjelang Pemilu 2024, wacana penggunaan teknologi di dalam pemilu kembali bergulir. Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi II DPR, Ketua KPU Ilham Saputra kembali mengusulkan agar proses rekapitulasi hasil Pemilu 2024 bisa menggunakan teknologi rekapitulasi elektronik (e-rekap).
Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik atau e-rekap sendiri adalah perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi yang berfungsi sebagai sarana publikasi hasil penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
KPU mengklaim penggunaan metode e-rekap akan memotong panjangnya proses rekapitulasi pemilu. Seperti yang diketahui selama ini KPU masih menerapkan rekapitulasi manual berjenjang dari tingkat desa, kecamatan, kota hingga nasional.
Selain itu, kehadirannya juga dapat meminimalisir adanya electoral fraud dan praktik kecurangan yang terjadi selama masa rekapitulasi. Dengan sistem ini jelas akan meminimalisir keterlibatan berbagai pihak dalam proses rekapitulasi.
Kehadiran teknologi ini juga dianggap dapat membuat hasil pemilu yang lebih demokratis, benarkah demikian? Mungkinkah e-rekap menjadi kunci utama yang bisa menyelamatkan pemilu Indonesia dari segala marabahaya kecurangan?
Mengapa E-Rekap?
Usulan untuk memanfaatkan teknologi dalam pemilu sebenarnya bukanlah hal yang baru. Merujuk pada evaluasi Pilpres 2019 dan kompleksitas yang akan dialami Indonesia dalam menyelenggarakan Pemilu 2024, The International Institute for Democracy and Electoral Assistance mengusulkan agar pemilu selanjutnya dijadikan momentum bagi Indonesia untuk melakukan transformasi penggunaan teknologi dalam pemilu.
Alvarez R.M dalam The Impact of New Technologies on Voter Confidence memaparkan penggunaan teknologi dianggap mampu memberi kemudahan dan menciptakan efisiensi pemilu khususnya bagi negara-negara demokrasi dengan penduduk dan jumlah pemilih yang besar. India, contohnya, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar saat ini telah menggunakan mesin e-voting secara eksklusif untuk pemilu nasional maupun lokal. Begitu pula dengan Amerika Serikat (AS) dan Brasil yang cukup sukses dalam menggunakan teknologi dalam beberapa tahapan Pemilu-nya.
Kembali dalam konteks e-rekap, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan pihaknya mendukung usulan KPU terkait pemberlakuan rekap elektronik. Ia beralasan dalam kajian yang dilakukan pihaknya, salah satu pelanggaran yang banyak terjadi adalah saat proses rekapitulasi.
Selain karena waktu rekap yang lama lantaran berjenjang, kecurangan terjadi juga karena keterlibatan terlalu banyak pihak pada proses rekapitulasi secara manual. Lebih lanjut, Titi memaparkan bahwa penerapan e-rekap dianggap lebih realistis dan berdaya guna dibanding penerapan e-vote.
Hal yang sama diungkap oleh peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay yang memaparkan bahwa, dengan Pemilu 2024 yang sangat rumit, penggunaan e-rekap akan membantu meringankan beban penyelenggara pemilu dan hasil rekapitulasi menjadi lebih akurat. Pemanfaatan e-rekap juga dinilai menjadi salah satu strategi utama untuk mengontrol hasil suara agar terhindar dari praktik kecurangan (electoral fraud).
Lalu, benarkah penerapan e-rekap dapat menyelesaikan permasalahan kecurangan pemilu di Indonesia? Apakah e-rekap menjadi satu-satunya persoalan yang dihadapi dalam kecurangan-kecurangan pemilu di Indonesia?
Tidak Menyelesaikan Masalah?
Dr. Wim Tangkilisan dalam disertasinya Jaminan Kepastian Hukum Atas Keamanan Penyimpanan Data KTP Elektronik pada Cloud Storage dan Ancaman Penyalahgunaannya dalam Konstelasi Pemilu di Indonesia memaparkan bahwa permasalahan utama penyelenggaran pemilu di Indonesia ada di hulu yaitu terkait data kependudukan – khususnya Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el).
Dalam temuan Dr. Wim Tangkilisan, KTP-el justru menjadi masalah tersendiri – khususnya dalam konteks kepemiluan di Indonesia di antaranya seperti praktik jual beli suara dalam pemilu, baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada. Menurut Wim, ada beberapa fakta di mana KTP-el menjadi sarana kejahatan atau pelanggaran sistem kepemiluan selama ini.
Pertama, sejak 2012, terdapat permasalahan DPT (Daftar Pemilih Tetap) di DKI Jakarta. Tidak terdaftarnya pemilih ini, dinilai membuat pemilih yang tidak terdaftar di DPT enggan untuk datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara), meski mereka tetap bisa menggunakan hak suaranya menggunakan KTP-el.
Kedua, Formulir C6 tidak disebar kepada masyarakat. Formulir C6 merupakan surat pemberitahuan untuk memilih. Sama seperti pemilih yang tidak terdaftar di DPT, akhirnya banyak pemilih yang menjadi enggan untuk memilih, sehingga suara mereka rentan untuk disalahgunakan.
Ketiga, pada 2020, terdapat sebanyak 270 daerah yang melaksanakan Pilkada serentak, dengan rincian terdapat 9 Pilkada Gubernur, 224 Pilkada Bupati, dan 37 Pilkada Wali Kota.
Pada dasarnya hak dasar memilih dilindungi oleh konstitusi. UU Pemilu menyebutkan jika tidak masuk dalam Daftar Pemilih, maka tetap bisa menggunakan hak pilih dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik.
Masalahnya, pada 2019 lalu, temuan dari pengawas pemilu se-Jawa Timur terdapat 263.901 pemilih yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) belum memiliki KTP-el. Dengan terhambatnya masyarakat dalam memiliki KTP-el, sudah dipastikan hak pilih mereka menjadi tidak dapat tersalurkan dalam proses pemberian suara di pemilu atau Pilkada.
Menurut Wim, ini adalah masalah yang sangat serius dalam kehidupan demokrasi karena persoalan demokrasi merupakan permasalahan ukuran, yaitu bagaimana prinsip-prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politik dapat diwujudkan. Terkait kesimpulan tersebut, Wim bertolak dari standar pemilu demokratis menurut Robert A. Dahl dalam Procedural Democracy, serta P. Laslett dan J. Fishkin dalam Philosophy, Politics and Society yang menyebutkan ada lima parameter, yakni inclusiveness, equal vote, effective participation, enlightened understanding, dan final control of agenda.
Jika kita analisis dari beberapa indikator permasalahan di atas kita bisa menilai bahwa hulu permasalahan terkait ke-pemilu-an di Indonesia adalah terkait data kependudukan (KTP-el). Permasalahan inilah yang menjadi celah untuk berbagai permasalahan lain yang melanggar prinsip integritas pemilu.
Dalam konteks ini usulan dari KPU dan beberapa lembaga terkait, penerapan sistem rekapitulasi elektronik (e-rekap) memang baik, tetapi diyakini keberadaannya nanti tidak akan menyelesaikan masalah jika permasalahan di hulunya tidak diperbaiki. Keberadaan e-rekap hanya akan memotong panjang dan lamanya proses rekapitulasi penghitungan suara.
Namun, selama permasalahan di hulu tidak diperbaiki hasilnya akan sama saja, kecurangan pemilu dan electoral fraud diprediksi tetap akan terjadi karena berbagai permasalahan Pemilu terjadi pada tahapan sebelum rekapitulasi itu sendiri. Hal ini diperkuat dengan temuan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyebut bahwa pelanggaran pemilu mayoritas terjadi pada tahapan sebelum rekapitulasi, seperti dalam tahap pra-pemilihan dan pemilihan.
Solusi
Sebelum mengusulkan penggunaan e-rekap ada baiknya pemerintah memenuhi berbagai syarat lain untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas. Pertama, pemerintah harus mempunyai political will untuk memperbaiki masalah di hulu terkait data kependudukan dalam konteks ini yaitu memodernisasi KTP-el. Kedua, pemerintah terlebih dahulu harus memperbaiki substansi dari UU yang mengatur tentang pemilu yaitu UU Pemilu itu sendiri sebagai dasar, dan UU administrasi kependudukan (UU Adminduk).
Ketiadaan kerangka hukum yang memadai dengan tidak adanya revisi UU Pemilu membuat sistem e-rekap tidak bisa digunakan untuk menggantikan proses rekapitulasi manual berjenjang secara menyeluruh. Selain itu Menurut Dr. Wim Tangkilisan, terdapat masalah di tiga komponen hukum dalam pemilu.
Pertama, ada substansi hukum yang bertentangan, khususnya antara Pasal 260 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan UU Adminduk. Dalam UU Adminduk, terdapat ancaman pidana dan denda terhadap setiap orang yang melakukan pencurian, pemalsuan, dan penggandaan atau cloning data kependudukan dalam KTP-el. Namun, dalam UU Pemilu, persoalan tersebut justru tidak disebut demikian.
Kedua, terkait persiapan penyelenggara, KPU harus memastikan kesiapan jaringan infrastruktur teknologi. Pemerintah perlu segera diselesaikan proses penyimpanan data kependudukan KTP-el dalam Cloud Storage, dan selanjutnya melakukan pengelolaan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, perlu disusun standard operating procedure (SOP) pengelolaan data, termasuk petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), serta menyiapkan SDM pengelola data yang benar-benar kapabel dan bertanggungjawab.
Ketiga syarat tersebut harus dipenuhi oleh KPU maupun pemerintah, sebelum memutuskan lebih jauh untuk menggunakan teknologi e-rekap selama ketiga syarat ini belum dipenuhi keberadaan e-rekap dianggap hanya mempercepat pengumpulan “piring kotor”. Pada akhirnya, keberadaan sistem e-rekap memang terbukti dapat memastikan hasil proses rekapitulasi menjadi lebih cepat dan akurat. Namun, keberadaannya dianggap tidak signifikan jika permasalahan utama terkait data kependudukan tidak dibenahi
Sebelum memastikan rekapitulasi hasil pemilu berjalan secara lebih cepat dan akurat pemerintah seharusnya memastikan dulu hasil pemilu tersebut telah bebas dari kecurangan. Jika hasil kecurangan pemilu dianalogikan sebagai piring kotor, keberadaan e-rekap bisa dibilang hanya untuk mempercepat pengangkutan piring kotor tersebut bukan membersihkan piring kotor tersebut.
Terkait hal ini Pippa Norris dalam Why Electoral Integrity Matters memaparkan bahwa di satu sisi penerapan teknologi dalam pemilu dapat menjadi alat untuk memitigasi kecurangan pemilu dan meminimalisir public distrust. Namun, apabila teknologi pemilu tidak menghilangkan masalah atau justru mendatangkan masalah baru yang menghambat demokrasi, maka penggunaan teknologi dalam pemilu menjadi tidak relevan. (A72)