Koalisi Dini, Semata Memenangkan Pilpres

Koalisi Dini, Semata Memenangkan Pilpres?


Tarik-ulur penentun konfigurasi koalisi partai politik (parpol) menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, semakin menarik untuk disimak. Bangunan narasi koalisi diperlihatkan parpol dengan 
berbagai macam bentukTerdapat partai yang menginginkan koalisi cepat dibentuk, ada pula yang menginginkan sebaliknya, lebih bijak jika dibentuk mendekati Pilpres 2024.


Adi Prayitno, pengamat politik UIN Jakarta, mengatakan, idealnya koalisi partai dan penentuan calon presiden (capres) dilakukan lebih awal. Hal itu dimaksudkan agar partai dan kandidat punya waktu sosialisasi, konsolidasi, dan penetrasi lebih matang.

Namun menurutnya hal itu sulit dilakukan, koalisi pasti alot karena mencari yang terbaik. Hal ini wajar, disebabkan setiap parpol punya perhitungannya masing-masing. Semacam ironi, di satu sisi koalisi penting dipercepat untuk memberikan waktu sosialisasi dan konsolidasi yang lebih banyak, tapi di sisi lain, partai juga perlu memikirkan keuntungan masing-masing jika bergabung dalam sebuah koalisi.

Karena Pemilu 2024 nanti adalah silang kepentingan antara usaha memenangkan pilpres dan mengamankan perolehan suara parpol. Berangkat dari dilema parpol ini, alasan utama tentunya disebabkan oleh aturan main pencalonan presiden dalam pilpres.

Hal ini merujuk pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di pasal tersebut disebutkan, pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu sebelumnya.

Bagi parpol mapan, ambang batas parlemen bukan isu yang menjadi hambatan. Mereka paham bahwa kekuatan kursinya di parlemen cukup untuk mengejar cita-cita politiknya, yaitu memenangkan pilpres dan meraup suara besar di parlemen. Tapi itu mungkin hanya berlaku untuk PDIP, Golkar, atau Gerindra.

Sedangkan partai menengan ke bawah, narasi koalisi menjadi komoditas politik penting. Tentunya karena parpol middle class membutuhkan suara lebih untuk mencalonkan kandidat dan ikut terlibat dalam mempertahankan eksistensi di parlemen.

Terdapat pula sebuah argumentasi lain dalam konteks koalisi, yaitu inisiasi koalisi seharusnya sejalan dengan bentuk sistem pemerintahan kita, yaitu presidensial multipartai. Lantas seperti apa konfigurasi koalisi yang akan diterapkan parpol dalam sistem politik kita saat ini?

Efek Domino Presidensial Multipartai

Kenapa koalisi harus dilakukan, hal ini disebabkan oleh sistem yang saat ini dianut, yaitu sistem presidensial multipartai. Sejumlah ahli politik mengatakan bahwa sistem presidensial multipartai cenderung akan membuat partai-partai bergabung dalam sebuah koalisi.

Juan Linz dan Arturo Velenzuela dalam bukunya The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America, mengatakan sistem presidensial yang dijalankan berdasarkan konstruksi sistem multipartai cenderung akan membuat partai berkonflik satu dengan lainnya, sehingga terjadi suatu titik di mana partai melahirkan kompromi berupa koalisi untuk meredam konflik di antara partai-partai tersebut.

Tidak seperti sistem parlementer, salah satu kekurangan sistem presidensial adalah tidak adanya mekanisme yang dapat menjamin penguasaan kursi mayoritas di parlemen. Partai politik pengusung presiden memang sering kali mendapatkan mayoritas kursi parlemen di negara-negara dengan sistem presidensial yang berkombinasi dengan sistem dua partai politik dominan.

Akan tetapi, hal ini amat jarang terjadi di negara-negara dengan sistem presidensial yang berkombinasi dengan sistem multipartai. Polarisasi ideologis dan fragmentasi kekuatan politik yang beredar dalam spektrum yang lebar, menyebabkan presiden dalam sistem presidensial yang berkombinasi dengan sistem multipartai harus memiliki kemampuan membentuk koalisi ideal yang  solid, dan juga cukup untuk memenangi mayoritas suara di parlemen.

Arend Lijphart dalam bukunya Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, mengatakan kondisi ini sebagai koalisi kemenangan minimal (minimal winning coalition), yakni koalisi perlu dibentuk sekadar dapat mengendalikan mayoritas relatif sebesar 50 persen ditambah satu di parlemen.

Tentu saja skenario ini mengharuskan kedisiplinan dan kepatuhan partai politik mitra koalisi terhadap komitmen perjuangan bersama, sehingga tidak membelot dan menyeberang ke kubu oposisi dalam isu-isu tertentu.

Kekhawatiran akan adanya pembelotan dan penyeberangan politik yang dilakukan mitra koalisi, tidak boleh mengorbankan tatanan ideal demokrasi yang meniscayakan kekuatan politik pemerintahan. Pada titik ini, membangun koalisi partai politik tidak boleh sekadar dilatari motivasi kemenangan  belaka.

Kompromi dibangun sedini mungkin agar tidak mengganggu pemerintahan. Oleh karenanya, untuk menguji soliditas partai, perlu diadakan koalisi dini, sehingga partai yang relatif tidak punya komitmen akan dengan mudah dieliminasi dari koalisi.

Well, dari sini kita melihat bangunan argumentasi yang lebih ideal dalam membangun koalisi, yaitu soliditas. Untuk mencapai soliditas tersebut dibutuhkan waktu, sehingga membentuk koalisi sedini mungkin  dapat juga menjadi bagian dari strategi menyeleksi parpol yang tidak mempunyai komitmen.

Lantas, seperti apa harusnya parpol membangun koalisi pada Pemilu 2024?

Belajar dari Pilpres 2019

Jika mengacu jadwal hari pemungutan suara di Pemilu serentak 2019 yang jatuh pada 17 April 2019, deklarasi kedua pasangan calon, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang sama-sama pada 9 Agustus 2018, maka publik sudah mengetahui pasangan capres dan cawapres selama kurang lebih 8 bulan sebelum pemungutan suara.

Dalam periode tersebut, masa kampanye pun panjang, yakni sejak 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Berpijak dari pengalaman Pemilu 2019, praktik yang sama juga akan diterapkan di Pemilu 2024. Dengan regulasi yang sama, bisa diprediksi tahapan pemilihan umum akan berlangsung lebih panjang.

Usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, masa tahapan lebih dari 20 bulan seperti yang disyaratkan dalam undang-undang. Dengan pemilihan umum serentak, bahkan nantinya juga dibarengi dengan pilkada serentak nasional, membangun koalisi partai politik sejak awal boleh jadi menjadi keniscayaan.

Selain itu, kita bisa lihat meski terjadi perubahan peta politik paska kemenangan Jokowi, yaitu masuknya Prabowo dalam kabinet pemerintahan, koalisi yang mengusung Jokowi-Ma’ruf relatif lebih solid sejauh ini.

Yohan Wahyu dalam tulisannya Membangun Koalisi Sejak Awal, mengatakan pemilu serentak diharapkan memperkuat potensi koalisi lebih awal. Meskipun ambang batas pemilihan presiden menjadikan posisi setiap partai tidak setara, respons publik cenderung menyambut positif jika jauh-jauh hari mereka tahu siapa pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan berlaga di 2024 nanti.

Merujuk dari hasil jajak pendapat Kompas, Yohan mengungkap separuh lebih responden, yaitu 51,5 persen menganggap deklarasi calon presiden yang dilakukan lebih awal, setidaknya di tahun 2022 ini bisa jadi lebih menguntungkan bagi pemilih karena sudah mengetahui jauh-jauh hari calon pemimpin di 2024.

Meskipun demikian, sebagian responden lainnya menyatakan sebaliknya. Sebanyak 45,7 persen responden cenderung menyatakan tidak perlu deklarasi dilakukan jauh-jauh hari, lebih baik mendekati saat pemilihan umum atau di detik-detik terakhir seperti yang selama ini disuguhkan para elite partai di hadapan publik.

Terlepas dari pro-kontra di mata publik, wacana membangun koalisi partai politik sejak awal menjadi sinyal positif dari partai politik untuk membangun koalisi yang lebih permanen. Koalisi permanen ini bukan hanya untuk memenangkan kandidat di pilpres, melainkan juga memberi waktu yang lama bagi publik untuk menilai calon pemimpin mereka. (I76)

Ini Solusi Atasi Kecurangan Pemilu?

Ini Solusi Atasi Kecurangan Pemilu?

Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama berbagai pihak mengusulkan penggunaan teknologi rekapitulasi elektronik dalam gelaran pemilu 2024 nanti. Keberadaannya dinilai menjadi solusi sekaligus dapat meminimalisir adanya electoral fraud dan kecurangan dalam pemilu. Benarkah demikian?


Menjelang Pemilu 2024, wacana penggunaan teknologi di dalam pemilu kembali bergulir. Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi II DPR, Ketua KPU Ilham Saputra kembali mengusulkan agar proses rekapitulasi hasil Pemilu 2024 bisa menggunakan teknologi rekapitulasi elektronik (e-rekap).

Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik atau e-rekap sendiri adalah perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi yang berfungsi sebagai sarana publikasi hasil penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.

KPU mengklaim penggunaan metode e-rekap akan memotong panjangnya proses rekapitulasi pemilu. Seperti yang diketahui selama ini KPU masih menerapkan rekapitulasi manual berjenjang dari tingkat desa, kecamatan, kota hingga nasional.

Selain itu, kehadirannya juga dapat meminimalisir adanya electoral fraud dan praktik kecurangan yang terjadi selama masa rekapitulasi. Dengan sistem ini jelas akan meminimalisir keterlibatan berbagai pihak dalam proses rekapitulasi.

Kehadiran teknologi ini juga dianggap dapat membuat hasil pemilu yang lebih demokratis, benarkah demikian? Mungkinkah e-rekap menjadi kunci utama yang bisa menyelamatkan pemilu Indonesia dari segala marabahaya kecurangan?

Mengapa E-Rekap?

Usulan untuk memanfaatkan teknologi dalam pemilu sebenarnya bukanlah hal yang baru. Merujuk pada evaluasi Pilpres 2019 dan kompleksitas yang akan dialami Indonesia dalam menyelenggarakan Pemilu 2024, The International Institute for Democracy and Electoral Assistance mengusulkan agar pemilu selanjutnya dijadikan momentum bagi Indonesia untuk melakukan transformasi penggunaan teknologi dalam pemilu.

Alvarez R.M dalam The Impact of New Technologies on Voter Confidence memaparkan penggunaan teknologi dianggap mampu memberi kemudahan dan menciptakan efisiensi pemilu khususnya bagi negara-negara demokrasi dengan penduduk dan jumlah pemilih yang besar. India, contohnya, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar saat ini telah menggunakan mesin e-voting secara eksklusif untuk pemilu nasional maupun lokal. Begitu pula dengan Amerika Serikat (AS) dan Brasil yang cukup sukses dalam menggunakan teknologi dalam beberapa tahapan Pemilu-nya.

Kembali dalam konteks e-rekap, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan pihaknya mendukung usulan KPU terkait pemberlakuan rekap elektronik. Ia beralasan dalam kajian yang dilakukan pihaknya, salah satu pelanggaran yang banyak terjadi adalah saat proses rekapitulasi.

Selain karena waktu rekap yang lama lantaran berjenjang, kecurangan terjadi juga karena keterlibatan terlalu banyak pihak pada proses rekapitulasi secara manual. Lebih lanjut, Titi memaparkan bahwa penerapan e-rekap dianggap lebih realistis dan berdaya guna dibanding penerapan e-vote.

Hal yang sama diungkap oleh peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay yang memaparkan bahwa, dengan Pemilu 2024 yang sangat rumit, penggunaan e-rekap akan membantu meringankan beban penyelenggara pemilu dan hasil rekapitulasi menjadi lebih akurat. Pemanfaatan e-rekap juga dinilai menjadi salah satu strategi utama untuk mengontrol hasil suara agar terhindar dari praktik kecurangan (electoral fraud).

Lalu, benarkah penerapan e-rekap dapat menyelesaikan permasalahan kecurangan pemilu di Indonesia? Apakah e-rekap menjadi satu-satunya persoalan yang dihadapi dalam kecurangan-kecurangan pemilu di Indonesia?

Tidak Menyelesaikan Masalah?

Dr. Wim Tangkilisan dalam disertasinya Jaminan Kepastian Hukum Atas Keamanan Penyimpanan Data KTP Elektronik pada Cloud Storage dan Ancaman Penyalahgunaannya dalam Konstelasi Pemilu di Indonesia memaparkan bahwa permasalahan utama penyelenggaran pemilu di Indonesia ada di hulu yaitu terkait data kependudukan – khususnya Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el).

Dalam temuan Dr. Wim Tangkilisan, KTP-el justru menjadi masalah tersendiri – khususnya dalam konteks kepemiluan di Indonesia di antaranya seperti praktik jual beli suara dalam pemilu, baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada. Menurut Wim, ada beberapa fakta di mana KTP-el menjadi sarana kejahatan atau pelanggaran sistem kepemiluan selama ini.

Pertama, sejak 2012, terdapat permasalahan DPT (Daftar Pemilih Tetap) di DKI Jakarta. Tidak terdaftarnya pemilih ini, dinilai membuat pemilih yang tidak terdaftar di DPT enggan untuk datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara), meski mereka tetap bisa menggunakan hak suaranya menggunakan KTP-el.

Kedua, Formulir C6 tidak disebar kepada masyarakat. Formulir C6 merupakan surat pemberitahuan untuk memilih. Sama seperti pemilih yang tidak terdaftar di DPT, akhirnya banyak pemilih yang menjadi enggan untuk memilih, sehingga suara mereka rentan untuk disalahgunakan.

Ketiga, pada 2020, terdapat sebanyak 270 daerah yang melaksanakan Pilkada serentak, dengan rincian terdapat 9 Pilkada Gubernur, 224 Pilkada Bupati, dan 37 Pilkada Wali Kota.

Pada dasarnya hak dasar memilih dilindungi oleh konstitusi. UU Pemilu menyebutkan jika tidak masuk dalam Daftar Pemilih, maka tetap bisa menggunakan hak pilih dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik.

Masalahnya, pada 2019 lalu, temuan dari pengawas pemilu se-Jawa Timur terdapat 263.901 pemilih yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) belum memiliki KTP-el. Dengan terhambatnya masyarakat dalam memiliki KTP-el, sudah dipastikan hak pilih mereka menjadi tidak dapat tersalurkan dalam proses pemberian suara di pemilu atau Pilkada.

Menurut Wim, ini adalah masalah yang sangat serius dalam kehidupan demokrasi karena persoalan demokrasi merupakan permasalahan ukuran, yaitu bagaimana prinsip-prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politik dapat diwujudkan. Terkait kesimpulan tersebut, Wim bertolak dari standar pemilu demokratis menurut Robert A. Dahl dalam Procedural Democracy, serta P. Laslett dan J. Fishkin dalam Philosophy, Politics and Society yang menyebutkan ada lima parameter, yakni inclusivenessequal voteeffective participationenlightened understanding, dan final control of agenda.

Jika kita analisis dari beberapa indikator permasalahan di atas kita bisa menilai bahwa hulu permasalahan terkait ke-pemilu-an di Indonesia adalah terkait data kependudukan (KTP-el). Permasalahan inilah yang menjadi celah untuk berbagai permasalahan lain yang melanggar prinsip integritas pemilu.

Dalam konteks ini usulan dari KPU dan beberapa lembaga terkait, penerapan sistem rekapitulasi elektronik (e-rekap) memang baik, tetapi diyakini keberadaannya nanti tidak akan menyelesaikan masalah jika permasalahan di hulunya tidak diperbaiki. Keberadaan e-rekap hanya akan memotong panjang dan lamanya proses rekapitulasi penghitungan suara.

Namun, selama permasalahan di hulu tidak diperbaiki hasilnya akan sama saja, kecurangan pemilu dan electoral fraud diprediksi tetap akan terjadi karena berbagai permasalahan Pemilu terjadi pada tahapan sebelum rekapitulasi itu sendiri. Hal ini diperkuat dengan temuan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyebut bahwa pelanggaran pemilu mayoritas terjadi pada tahapan sebelum rekapitulasi, seperti dalam tahap pra-pemilihan dan pemilihan.

Solusi

Sebelum mengusulkan penggunaan e-rekap ada baiknya pemerintah memenuhi berbagai syarat lain untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas. Pertama, pemerintah harus mempunyai political will untuk memperbaiki masalah di hulu terkait data kependudukan dalam konteks ini yaitu memodernisasi KTP-el. Kedua, pemerintah terlebih dahulu harus memperbaiki substansi dari UU yang mengatur tentang pemilu yaitu UU Pemilu itu sendiri sebagai dasar, dan UU administrasi kependudukan (UU Adminduk).

Ketiadaan kerangka hukum yang memadai dengan tidak adanya revisi UU Pemilu membuat sistem e-rekap tidak bisa digunakan untuk menggantikan proses rekapitulasi manual berjenjang secara menyeluruh. Selain itu Menurut Dr. Wim Tangkilisan, terdapat masalah di tiga komponen hukum dalam pemilu.

Pertama, ada substansi hukum yang bertentangan, khususnya antara Pasal 260 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan UU Adminduk. Dalam UU Adminduk, terdapat ancaman pidana dan denda terhadap setiap orang yang melakukan pencurian, pemalsuan, dan penggandaan atau cloning data kependudukan dalam KTP-el. Namun, dalam UU Pemilu, persoalan tersebut justru tidak disebut demikian.

Kedua, terkait persiapan penyelenggara, KPU harus memastikan kesiapan jaringan infrastruktur teknologi. Pemerintah perlu segera diselesaikan proses penyimpanan data kependudukan KTP-el dalam Cloud Storage, dan selanjutnya melakukan pengelolaan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, perlu disusun standard operating procedure (SOP) pengelolaan data, termasuk petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), serta menyiapkan SDM pengelola data yang benar-benar kapabel dan bertanggungjawab.

Ketiga syarat tersebut harus dipenuhi oleh KPU maupun pemerintah, sebelum memutuskan lebih jauh untuk menggunakan teknologi e-rekap selama ketiga syarat ini belum dipenuhi keberadaan e-rekap dianggap hanya mempercepat pengumpulan “piring kotor”. Pada akhirnya, keberadaan sistem e-rekap memang terbukti dapat memastikan hasil proses rekapitulasi menjadi lebih cepat dan akurat. Namun, keberadaannya dianggap tidak signifikan jika permasalahan utama terkait data kependudukan tidak dibenahi

Sebelum memastikan rekapitulasi hasil pemilu berjalan secara lebih cepat dan akurat pemerintah seharusnya memastikan dulu hasil pemilu tersebut telah bebas dari kecurangan. Jika hasil kecurangan pemilu dianalogikan sebagai piring kotor, keberadaan e-rekap bisa dibilang hanya untuk mempercepat pengangkutan piring kotor tersebut bukan membersihkan piring kotor tersebut.

Terkait hal ini Pippa Norris dalam Why Electoral Integrity Matters memaparkan bahwa di satu sisi penerapan teknologi dalam pemilu dapat menjadi alat untuk memitigasi kecurangan pemilu dan meminimalisir public distrust. Namun, apabila teknologi pemilu tidak menghilangkan masalah atau justru mendatangkan masalah baru yang menghambat demokrasi, maka penggunaan teknologi dalam pemilu menjadi tidak relevan. (A72)

Kecurangan Bayangi Pilpres 2024?

Kecurangan Bayangi Pilpres 2024?

Terkait narasi kecurangan pemilu, khususnya di Pilpres 2019, berbagai pihak bersikap skeptis terhadapnya. Namun, penelitian disertasi Dr. Wim Tangkilisan justru dengan tegas menyebut potensi kecurangan tersebut. Lantas, kecurangan apa yang dimaksud? Apakah hal yang sama akan terjadi di Pilpres 2024?


“The world is one big data problem.” – Andrew McAfee, peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT)

Dengan populasi yang besar, Indonesia telah lama dikenal sebagai salah satu negara di kawasan ASEAN yang mempunyai kekuatan ekonomi kompetitif. Ini merupakan modal penting untuk berperan aktif dalam ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai pada awal 2015.

Mengutip sosiolog Manuel Castells, gelombang digitalisasi saat ini membawa kita pada keadaan yang disebut dengan network society, masyarakat yang terhubung satu sama lain melalui internet –masyarakat jejaring. Ini menjadi dasar kuat untuk menyebutkan salah satu tantangan MEA yang didera Indonesia adalah infrastruktur teknologi informasi.

Persoalan itu memang telah menjadi concern pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa tahun terakhir. Penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) juga disebut bertolak dari kebutuhan tersebut. Nadiem yang bergulat dengan big data bersama Gojek dinilai sebagai sosok tepat untuk mewujudkan link–and-match yang selama ini seperti berjalan di tempat.

Untuk mewujudkan linkand-match ataupun masyarakat jejaring yang menopang perekonomian digital, syarat vital yang harus diselesaikan adalah big data kependudukan yang baik. Tidak mungkin kita mampu membangun integrasi pendidikan dengan industri yang baik apabila variabel yang paling penting, yakni data kependudukan tidak diketahui dengan baik.

Demi kepentingan tersebut, pemerintah tengah membangun sistem pelayanan publik yang disebut dengan e-government. Dengan e-government, dimungkinkan terjadinya interaksi dan komunikasi baru antara pemerintah daerah yang satu dengan yang lainnya, antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, antara pemerintah dengan masyarakat, dan antara pemerintah dengan dunia usaha.

Pentingnya KTP-el

Menurut Dr. Wim Tangkilisan dalam disertasinya Jaminan Kepastian Hukum atas Keamanan Penyimpanan Data KTP Elektronik pada Cloud Storage dan Ancaman Penyalahgunaannya dalam Konstelasi Pemilu di Indonesia, Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) yang diluncurkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Februari 2011 merupakan hasil terapan implementasi e-government.

KTP-el ini penting untuk mengembangkan database kependudukan secara nasional dan memberikan identitas kepada masyarakat dengan menggunakan sistem biometric. Karena setiap KTP-el terhubung ke dalam satu database nasional, setiap orang hanya boleh memiliki satu KTP-el. Sampai awal 2019, jumlah penduduk yang telah terekam data kependudukannya melalui KTP-el sudah mencapai 97,21 persen dan yang belum terekam sebanyak kurang lebih 5,38 juta jiwa.

Di titik ini, sekiranya kita memahami urgensi dari program KTP-el. Untuk mempertegas, kita dapat mengonversi penalaran (reasoning) tersebut ke dalam logika simbolik (symbolic logic) yang disebut dengan hypothetical syllogism (silogisme hipotesis) sebagai berikut:

Premis 1   :               P -> Q    (Jika ingin menghadapi MEA, maka data kependudukan dan egovernment harus baik)

Premis 2   :               Q -> R    (Jika data kependudukan dan e-government ingin baik, maka KTP-el harus baik)

Konklusi   :               ჻ P -> R (Kesimpulan, untuk mendukung Indonesia berperan aktif di MEA, maka KTP-el yang baik adalah vital)

Namun alih-alih memenuhi harapan tersebut, dalam temuan Dr. Wim Tangkilisan, KTP-el justru menjadi masalah tersendiri. Mengutip Harian Bisnis Indonesia, terjadi praktik jual beli nomor induk kependudukan (NIK) KTP-el, nomor induk keluarga, dan swafoto secara ilegal di Facebook. Mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo juga pernah mengidentifikasi  dan mengumumkan sebanyak 2.158 keping blangko palsu pembuatan KTP-el yang diperjualbelikan secara online di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur.

Yang menjadi perhatian serius Wim adalah, rentannya KTP-el terhadap tindak pidana, bukan hanya menjadi masalah dalam kesiapan menghadapi MEA, melainkan juga praktik jual beli suara dalam pemilu, baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada.

Menurut Wim, ada beberapa fakta di mana KTP-el menjadi sarana kejahatan atau pelanggaran sistem kepemiluan selama ini. Pertama, sejak 2012 terdapat permasalahan DPT (Daftar Pemilih Tetap) di DKI Jakarta. Tidak terdaftarnya pemilih ini, dinilai membuat pemilih yang tidak terdaftar di DPT enggan untuk datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara), meski mereka tetap bisa menggunakan hak suaranya menggunakan KTP-el.

Kedua, Formulir C6 tidak disebar kepada masyarakat. Formulir C6 merupakan surat pemberitahuan untuk memilih. Sama seperti pemilih yang tidak terdaftar di DPT, akhirnya banyak pemilih yang menjadi enggan untuk memilih, sehingga suara mereka rentan untuk disalahgunakan.

Menjelang pemungutan suara pada Pemilu 2019, banyak temuan-temuan KTP-el yang tidak dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) setempat, seperti kasus penemuan 2.005 keping KTP-el di area pesawahan Jalan Bojong Rangkong, Pondok Kopi, Duren Sawit, pada Agustus 2019.

Ketiga, pada 2020 terdapat sebanyak 270 daerah yang melaksanakan Pilkada serentak, dengan rincian terdapat 9 Pilkada Gubernur, 224 Pilkada Bupati, dan 37 Pilkada Wali Kota. Dengan terhambatnya masyarakat dalam memiliki KTP-el, sudah dipastikan hak pilih mereka menjadi tidak dapat tersalurkan dalam proses pemberian suara di pemilu atau Pilkada.

Selain itu, menurut data Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, dari Januari 2020 sampai November 2020, telah terjadi sebanyak tiga puluh sembilan kasus pencurian data/identitas.

Menurut Wim, ini adalah masalah yang sangat serius dalam kehidupan demokrasi karena persoalan demokrasi merupakan permasalahan ukuran, yaitu bagaimana prinsip-prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politik dapat diwujudkan.

Terkait kesimpulan tersebut, Wim bertolak dari standar pemilu demokratis menurut Robert A. Dahl dalam Procedural Democracy, serta P. Laslett dan J. Fishkin dalam Philosophy, Politics and Society, yang menyebutkan ada lima parameter, yakni inclusivenessequal voteeffective participationenlightened understanding, dan final control of agenda.

Pertanyaannya tentu satu, bagaimana prinsip kendali dan kesetaraan tersebut dapat terwujud apabila terjadi masalah dalam penyaluran suara?

Untuk mempertegas simpulan Wim tersebut, kita dapat kembali menggunakan hypothetical syllogism. Berikut konversi logika simboliknya:

Premis 1    :               P -> Q    (Jika KTP-el baik, maka data kependudukan baik)

Premis 2   :               Q -> R    (Jika data kependudukan baik, maka DPT tidak bermasalah)

Premis 3  :               R -> S     (Jika DPT tidak bermasalah, maka demokrasi dapat berjalan baik)

Konklusi  :               ჻ P -> S (Kesimpulan, KTP-el vital untuk menjamin demokrasi dapat berjalan baik)

Nah, penelitian disertasi Dr. Wim Tangkilisan bertujuan untuk menjawab permasalahan tersebut. Lalu bagaimana jawabannya?

Hukum Responsif: Ius Constitutum ke Ius Constituendum

Untuk menjawabnya, Dr. Wim Tangkilisan menggunakan teori hukum responsif dari Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku Law and Society in Transition towards Responsive Law. Menurut Nonet dan Selznick, selama ini terdapat ketegangan antara dua pendekatan terhadap hukum, yaitu kebebasan dan kontrol sosial.

Nonet dan Selznick menamakan pendekatan kebebasan sebagai pandangan yang memiliki risiko rendah tentang hukum dan ketertiban. Pandangan ini menekankan pada betapa besarnya sumbangan stabilitas hukum terhadap suatu masyarakat yang bebas, dan betapa berisikonya sistem yang berdasarkan pada otoritas dan kewajiban sipil.

Dalam perspektif ini, Nonet dan Selznick melihat hukum sebagai unsur yang sangat penting dari tertib sosial. Oleh karenanya, untuk menjawab persoalan demokrasi yang berakar pada masalah KTP-el, Wim melihat jawabannya ada pada hukum. Ini disebut sebagai hukum responsif.

Dalam hukum responsif, hukum bertindak sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik sesuai dengan sifatnya yang terbuka. Tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.

Menurut Wim, penyalahgunaan data KTP-el pada konstelasi Pileg, Pilpres, dan Pilkada terjadi karena UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) maupun UU ITE tidak mengatur mengenai penyimpanan dan pengelolaan data kependudukan.

Ironisnya, di Indonesia juga belum ada ketentuan tentang Perlindungan Data Peribadi (PDP), sementara di negara lain, perekaman, penyimpanan, dan pengelolaan data kependudukan diatur dalam undang-undang tersendiri, yaitu UU PDP dan terdapat lembaga yang melakukan pengawasan, penyelidikan, dan penegakan terhadap ketentuan UU PDP.

Imbasnya, pada Pilpres 2019, misalnya, salah satu objek gugatan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah kecurangan perolehan suara dengan menggunakan KTP-el ganda. Pada Pilkada serentak pada Desember 2020, Wim juga melihat banyak gugatan atau sengketa pemilu yang berakar pada perolehan suara yang tidak sah atau kecurangan dengan menggunakan sarana KTP-el.

Baca Juga: Sulit Menkominfo Johnny Lindungi Data Pribadi?

Menurut Wim, pada Pilpres 2019 terdapat inkonsistensi pengaturan penyalahgunaan data kependudukan antara UU Adminduk dengan UU Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam UU Adminduk, terdapat ancaman pidana dan denda terhadap setiap orang yang melakukan pencurian, pemalsuan, dan penggandaan atau cloning data kependudukan dalam KTP-el.

Namun dalam UU Pemilihan Umum, persoalan tersebut justru tidak diatur secara jelas. Pada UU Pemilu, seperti dalam Pasal 260 ayat (3), tindakan memalsukan, menggandakan dan/atau meng-cloning data penduduk untuk perolehan suara tidak ditetapkan sebagai tindak pidana.

Oleh karenanya, mengacu pada hukum responsif, Wim menilai perlu dilakukan uji materiil ke MK terhadap Pasal 260 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Tegasnya, ini merupakan wujud dari teori kepastian hukum.

Selain itu, Wim juga menegaskan perlunya menyusun konsep Peraturan Pemerintah tentang Teknis Pelaksanaan Penggunaan KTP Elektronik Dalam Sistem Pemilu di Indonesia (RPP). Di dalamnya perlu dimasukkan substansi perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana dan diancam dengan ancaman pidana dan denda.

Norma-norma hukum tersebut meliputi tindakan memalsukan, menggandakan dan/atau membuat seperti (cloning) data identitas KTP-el milik orang lain, yang dipergunakan untuk menambah perolehan suara dalam pemilu.

Kemudian perlu segera diselesaikan proses penyimpanan data kependudukan KTP-el dalam Cloud Storage, dan selanjutnya melakukan pengelolaan dengan sebaik-baiknya. Selain itu perlu disusun standard operating procedure (SOP) pengelolaan data, termasuk petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), serta menyiapkan SDM pengelola data yang benar-benar kapabel dan bertanggungjawab.

Ini sesuai dengan RUU Perlindungan Data Pribadi, di mana semua staf /pejabat pengelola data wajib mengikuti pelatihan khusus untuk mendapat sertifikat sebagai Pejabat Pengelola Data (Data Protection Officers).

Terakhir, dalam rangka mengupayakan efektivitas perlindungan data pribadi dalam KTP-el, Wim menyarankan untuk melakukan sosialisasi regulasi perlindungan data pribadi tersebut kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat secara bertahap.

Pada akhirnya, mengacu pada temuan disertasi Dr. Wim Tangkilisan, jika masalah benturan aturan hukum tersebut tidak selesaikan, khususnya soal perlindungan data pribadi, sengketa terkait kecurangan pemilu tampaknya akan menjadi kasus berulang. Jika hipotesis ini tepat, pada Pemilu dan Pilpres 2024 nanti, narasi kecurangan akan kembali menggema di ruang Mahkamah Konstitusi. (R53)

Survei, Instrumen Politis Pemilu 2024?

Survei, Instrumen Politis Pemilu 2024?

Hasil survei yang menyebutkan PDIP sebagai partai terbersih merupakan satu dari banyak survei rancu. Hasil survei tersebut membuat publik pun mempertanyakan independensi lembaga survei. Apakah ada kepentingan politis di balik survei?


Menjelang Pemilu 2024, berbagai survei politik telah dilaksanakan secara berkala. Survei tersebut berusaha untuk memetakan preferensi calon pemilih dan memprediksi hasil pemilu yang akan datang. Survei terkait elektabilitas sudah banyak mencuat pada diskusi publik, seperti elektabilitas tokoh politik potensial dan partai politik.

Namun yang menjadi fenomena menarik adalah banyak hasil survei menimbulkan tanda tanya akibat hasilnya yang dinilai rancu. Misalnya, survei Puspoll yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di posisi teratas dalam hal persepsi sebagai partai terbersih. Hasil survei menunjukkan PDIP unggul sebagai partai bersih korupsi, pro pemberantasan korupsi dan partai mewakili milenial.

PDIP memperoleh elektabilitas sebesar 22,3 persen. PDIP diikuti Partai Gerindra di urutan kedua dengan elektabilitas 13,4 persen dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 9,2 persen.

Hasil survei Puspoll dinilai tidak sejalan dengan realita. Berdasarkan data dari Setara Institute, PDIP menyumbang kader terbanyak yang terjerat kasus korupsi. Pengamat politik Rocky Gerung pun menyebutkan PDIP sebagai sarang koruptor.

Pada Desember tahun lalu, tiga kader PDIP terjerat kasus korupsi. Mereka adalah Eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo, dan Wali Kota Cimahi Ajay Priatna. PDIP masih menyimpan daftar panjang kader koruptor, seperti pada kasus ekspor benih lobster, suap jual beli jabatan di Kabupaten Klaten, proyek pembangunan sekolah di Blitar, Harun Masiku, dan sebagainya.

Apalagi, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga telah menunjukkan keprihatinannya atas berbagai kader PDIP yang terjerat korupsi.

Ada juga survei Litbang Kompas yang mencatat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menempati urutan teratas survei elektabilitas calon presiden. Menjadi pertanyaan juga mengapa nama Jokowi masuk pada survei tersebut, di mana secara konstitusional Jokowi tidak bisa maju kembali di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Sehingga turut menjadi pertanyaan, mengapa fenomena survei janggal ini terus bermunculan dan mungkin akan terus muncul hingga Pemilu 2024? Apakah ada makna di balik survei tersebut?

Sebagai Alat Marketing

Hasil survei dapat memberikan keuntungan bagi subyek survei itu sendiri. Dalam politik, hasil survei dapat menjadi alat pemasaran untuk meningkatkan popularitas tokoh politik atau partai politik.

Hal tersebut dapat dijelaskan dengan meminjam konsep marketing. Pada salah satu publikasi Harvard yang ditulis oleh Paul M. Dholakia dengan judul How Surveys Influence Customers, ia menjelaskan mengenai survei sebagai marketing tool.

Dholakia mengatakan bahwa survei dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan karena meningkatkan customer awareness terhadap perusahaan itu sendiri. Sehingga secara tidak langsung, survei dapat menjadi alat pemasaran atau marketing.

Survei juga memberikan pengaruh psikologi. Pihak yang terlibat dalam survei dapat meningkatkan loyalitas kepada perusahaan. Berdasarkan penilitian Dholakia, orang yang terlibat dalam survei melakukan transaksi tiga kali lipat atas produk perusahaan, daripada mereka yang tidak terlibat dalam survei.

Berangkat dari tulisan Dholakia, jika ditarik pada konteks politik, survei dapat menjadi alat marketing untuk meningatkan awareness bahkan loyalitas kepada para tokoh politik dan partai politik tertentu. Apalagi survei merupakan produk ilmiah sehingga memiliki legitimasi.

Penggunaan survei sebagai alat marketing mungkin dapat dilihat pada kasus PDIP. Di tengah banyaknya kasus kader PDIP yang terjerat korupsi, sebuah lembaga survei malah mengeluarkan hasil survei yang menyebutkan PDIP merupakan partai terbersih korupsi. Dilihat dari segi timing, tentu hal ini tidak menjadi kebetulan. Elektabilitas PDIP sendiri disebut menurun karena kasus korupsi yang menjerat kadernya.  

Mungkin saja, survei ini digunakan sebagai alat marketing untuk memperbaiki citra buruk PDIP yang dilabel sebagai sarang koruptor dan menjadi upaya untuk memperoleh kepercayaan publik.

Survei sebagai alat marketing juga dapat dilihat pada survei elektabilitas Jokowi yang mencapai posisi teratas untuk maju pada Pemilu 2024. Narasi presiden tiga periode sendiri dikritik habis oleh masyarakat dan pengamat, termasuk pemerintah yang juga menyuarakan penolakannya.

Namun, Ketua DPR Puan Maharani sempat meminta wacana masa jabatan presiden sebanyak 3 periode dibahas di Komisi II DPR. Survei tersebut tampaknya dapat digunakan sebagai alat marketing untuk mendorong narasi presiden 3 periode dan menjustifikasi wacana tersebut sebagai “suara rakyat” yang didasari hasil survei.

Lantas bagaimana dampak dari survei politik tersebut? Apakah akan mempengaruhi pilihan pemilih pada pemilu nanti?

The Bandwagon Effect?

Banyaknya survei yang bermunculan dikhawatirkan akan memunculkan bandwagon effect pada pemilu. Patricia Moy dan Erike Mark Rinke pada tulisannya Attiudinal and Behavioral Consequences of Published Opinion Polls menjelaskan bandwagon effect atau = contagion effect yang merupakan perilaku ikut-ikutan seseorang yang dipengaruhi pilihan mayoritas.

Hasil survei sendiri kerap kali dianggap sebagai suara rakyat, sehingga survei dapat melakukan mobilisasi dan demobilisasi preferensi politik akibat bandwagon effect. Disebutkan oleh Moy dan Rinke bahwa bandwagon effect juga didukung oleh masifnya pemberitaan media.

Media dan lembaga survei memiliki hubungan yang saling menguntungkan. Lembaga survei butuh media untuk mempromosikan hasil kerjanya, di sisi lain media membutuhkan konten berkala, sehingga hasil survei menjadi newsworthy.

Jika dilihat pada konteks sekarang, media memang masif memberitakan hasil survei elektabilitas untuk Pemilu 2024 nanti. Walaupun begitu, bandwagon effect mungkin saja tidak terjadi karena salah satu kunci keberhasilan efek tersebut adalah intensi politik yang terselubung.

Banyaknya hasil survei yang rancu membuat publik tidak serta merta percaya pada survei tersebut. Kepentingan poltik di belakangnya juga dapat “dicium” oleh publik.

Survei terkait PDIP sebagai partai terbersih malah hanya menjadi bahan “bulan-bulanan” oleh warganet. Besarnya akses informasi tentu mempermudah masyarakat untuk melakukan verifikasi informasi dan memperoleh data, seperti informasi kader PDIP yang banyak terjerat kasus korupsi.

Kepentingan politik pun juga terlihat pada hubungan patron – klien antara lembaga survei dan kliennya. Aktor politik yang menggunakan jasa lembaga survei tentu dilakukan untuk tujuan politis.

Hal ini diafirmasi oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago. Ia menyebutkan bahwa jasa konsultasi politik merupakan peluang bisnis yang besar jelang pemilu karena survei menjadi kebutuhan primer politikus.

Pengakuan dari Pangi pun mendukung pernyataan sejarawan dan kritikus Amerika Serikat (AS) Arthur Schlesinger Jr. yang mengatakan bahwa lembaga survei merupakan electronic manipulators. Survei sebagai instrumen yang digunakan untuk memanipulasi opini publik.

Lembaga survei sebagai ladang bisnis juga terlihat pada banyaknya lembaga survei yang menawarkan jasa konsultasi politik. Data Pemilu 2014 mencatat ada 56 lembaga survei sekaligus konsultan politik yang terdaftar resmi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Lembaga survei yang berbasis bisnis daripada pengetahuan sekiranya tidak sejalan dengan etika akademik. Survei seharusnya menjadi kepentingan publik bukan untuk tujuan politis. Bandwagon effect tentu sulit untuk terjadi karena masyarakat sudah kritis atas survei politik akibat banyaknya hasil survei yang rancu.

Survei mungkin saja dapat meningkatkan popularitas aktor politik tertentu, tetapi hal tersebut belum tentu bisa mengarahkan preferensi pilihan politik individu. (R66)